Tadi malam, aku menyisir rambut ku sebelum tidur. Teringat ibu yang juga pernah menyisir rambutnya sebelum tidur. |aku: ibu mau kemana? |ibu: gak kemana2.| lalu ibu pergi tidur.
Tadi malam saat aku menyisir rambutku, ada beberapa helai rambut yang lepas dari akarnya. Kembali teringat ibu, yang rambutnya semakin menipis akibat pengobatan dengan bahan kimia. Sampai beliau harus menggundulkan kepalanya supaya helaian rambut yang rontok tidak berserakan kemana-mana. Ibu melakukannya (mungkin) pasca operasi. Aku tidak tahu pasti, karena entah saat itu aku masih terlalu lugu untuk tau atau aku masih bodoh.
Waktu itu ibu selesai melakukan operasi yang pertama. Masih terpasang alat mirip CD Player portable guna menampung darahnya yang masih menetes dari dadanya. Melihat ibu dengan keadaan terbaring dengan senyum yang menahan sakit, kepala yang sudah tidak ada rambut sehelaipun, payudara yang hanya tinggal satu, yang satunya lagi diperban bekas operasi, wajah pucat, rasanya seperti naik kereta gantung yang tiba-tiba talinya putus, lalu tenggelam di dasar laut paling dalam, tenggelam di gelapnya samudera. Masa depan seperti suram. Kamu gak tau betapa hancurnya aku, pikiranku tak karuan melihat ibu seperti itu.
Ingin menangis, pasti. Tapi menangis akan memuat ibu semakin sedih. Aku tahan semampuku. Dengan mata berkaca-kaca aku menghampiri ibu. Saaaaaaaangat ingin memeluknya, tapiii,,,, payah, aku memang payah. Aku tipe anak yang terlalu gengsi mencurahkan rasa sayangku terhadap orangtua. Akhirnya aku hanya mencium tangannya. Seperti yang aku lakukan setiap aku pergi sekolah. Sungguh sangat ingin menangis saat itu. Amat sangat terpukul melihat keadaan itu. Tapi aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam, agar bendungan air di pelupuk mata ini tidak membasahi pipiku.
November 2004, ibu kembali ke tempat seharusnya beliau kembali. Dan aku tidak bisa lagi menggenggam tangannya, mencium tangannya, dan memeluknya.. iya,, aku tidak bisa memeluknya,, untuk selamanya,,
Tahun berlalu. 2007 adalah tahun yang saaangat ku nantikan sejak aku kecil karena saat itulah aku berusia 17 tahun. Saat ketika aku boleh melakukan apapun yang tidak boleh aku lakukan di waktu kecil. Membawa mobil sendiri, menemani ibu belanja dengan aku sebagai supirnya. Impianku.
Tapi kita tidak punya kuasa atas rencana Tuhan. Semua bayangan masa kecilku tentang masa indah di saat aku 17 tahun, hilang! Nol besar! 17 tahunku tak seindah perkiraanku. Tak seperti keinginanku. 17 tahunku tanpa ibu, tanpa pesta, tanpa hidup bahagia, tanpa hidup yang normal seperti keluarga lainnya.hhhh,,,, ya, mungkin Tuhan berencana lain. Tuhan ingin aku dewasa dan semakin kuat dalam menjalani kenyataan. Tapi aku tak bisa sekuat yang Tuhan inginkan. Aku banyak berontak. Aku banyak menolak. Aku nakal. Aku tak mau diatur. Aku egois. Aku selalu negatif. Aku selalu berprasangka.
2008, 2009, 2010 sampai 2011, aku telah melewati berbagai ujian di hidupku. Berbagai kisah manis dan pahit. Kisah persahabatan, kisah percintaan, kekecewaan, kemengertian, dan lain-lain. Yang paling aku ingat adalah kisah aku si anak piatu. Terlalu sering aku merasa kecil. Melihat teman-teman bahagia bersama mamanya. Bercerita segala hal dengan ibunya. Memasak bersama dengan ibunya. Masih bisa melihat ibunya. Masih bisa mencium tangannya. Masih bisa mendengar suara ibunya. Semua itu membuatku rindu dengan sosok ibu, rindu kelembutan seorang ibu, bahkan rindu makiannya ketika aku berbuat nakal.
Aku menyimpan rasa sesal setelah kepulangannya. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kemana aku saat ibu sedang sakit? Dimana aku saat ibu berjuang melawan penyakitnya? Kenapa aku tidak mendampingi ibu setiap hari di rumah sakit? Apa aku masih terlalu kecil untuk tau itu semua? Apa aku masih terlalu polos untuk menerima kenyataan kondisi ibu? Kenapa aku tidak diceritakan sajaa?? Kenapa semua itu harus disembunyikan dariku?? Aku ingin merawat ibuku! Aku ingin mendampingi ibuku! Hhh,,, Aku bingung. Sekarang. Bagaimana caraku membalas jasa ibu. Aku sudah besar sekarang. Aku sudah cukup besar untuk membantu meringankan pekerjaan ibu dirumah. Aku ingin seperti teman-temanku yang membantu ibunya memasak, memijat badan ibunya yang semakin menua dan letih menghadapi hidup. Aku ingin membuat ibu tersenyum. Aku ingin menemani ibu ke pasar. Aku ingin melakukan semua hal yang bisa kulakukan dengan ibu. Aku ingin menebus semua kenakalanku sewaktu aku kecil.
Aku ingin bercerita dengan ibu tentang semua yang menyangkut hidupku. Aku butuh ibu di masa labil, aku ingin pelukan ibu saat aku merasa lelah dengan hidup ini. Aku butuh ibu, penuntun masa depanku. Butuh ibu sepanjang hidupku. Kini aku hanya bisa berdoa untuk ibu. Hanya doa, yang bisa buat ibu bahagia disana. Tenang. Damai. Mungkin wujud baktiku untuk ibu?